PENGGUNAAN
DERET REAKSI BOWEN
DALAM
PENENTUAN SIFAT DAN MINERAL PENYUSUN BATUAN
NOVIAN
FAJAR TRI UTOMO
MAHASISWA
TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UGM
Jalan Grafika 2 Sleman, Yogyakarta,
Indonesia
Abstrak
Penulis
mengambil judul “Penggunaan Deret Reaksi Bowen Dalam Penentuan Sifat Dan
Mineral Penyusun Batuan” karena secara jelas bahwa suatu batuan tersusun dari
beberapa mineral, sehingga penulis berusaha memanfaatkan deret ini dalam
penggunaannya untuk mempermudah dalam mempelajari batuan. Dilihat dari isinya Deret
Reaksi Bowen adalah urut - urutan pembentukan mineral - mineral yang terbentuk
dari hasil pendinginan magma dan perbedaan kandungan magma, dengan asumsi dasar
bahwa semua magma berasal dari magma induk yang bersifat basa. Deret ini di
namakan Deret Reaksi Bowen karena deret
ini disusun oleh seorang peneliti yang bernama Norman L. Bowen. Dari dalam
deret Bowen ini ada informasi yang cukup penting dalam proses terbentuknya
mineral, yaitu perbedaan sifat mineral yang terbentuk pada suhu tinggi dan suhu
yang rendah, sifat mineral yang dihasilkan bersifat basa, intermediet dan asam,
dan mineral yang memiliki resistensi rendah maupun tinggi. Semua hal tersebut
sebenarnya hanya dipengaruhi oleh satu hal saja, yaitu temperatur atau suhu
pada saat mineral tersebut terkristalkan. Di dalam magma tersebut mengandung
beberapa material, ada yang bersifat
mudah menguap (volatile) misalnya air, CO2, chlorine, fluorine,
iron, sulphur, dan lain-lain yang menyebabkan magma dapat bergerak, dan ada
yang bersifat non-volatile atau non-gas yang kedua material tersebut merupakan
zat pembentuk mineral yang biasanya dijumpai dalam batuan beku. Deret ini terbagi menjadi 2 proses
yaitu deret kontinyu dan diskontinyu. Mineral yang terbentuk pada deret
kontinyu yaitu anortite, bytownite, labradorite, andesine, oligoklas dan
albite. Untuk mineral yang terbetuk pada deret diskontinyu yaitu olivine,
pyroxene, amphibole, dan biotite. Jika
kedua deret tersebut telah berakhir selanjutnya akan terbentuk Othoclase
Potassium Feldspar ,
Muscovite,
Quartz.
Dengan mengaplikasikan deret Bowen dalam proses pendiskripsian batuan, maka
untuk mengidentifikasi sifat dan mineral penyusun suatu batuan dapat dilakukan
dengan lebih mudah. Deret reaksi Bowen ini dapat digunakan untuk membantu
pendiskripsian terutama pada batuan beku, akan tetapi dapat juga digunakan dalam pendiskripsian batuan sedimen maupun
metamorf meskipun dalam penggunaanya hanya sebagian dari batuan tersebut dan juga
cukup sulit. Pada batuan sedimen deret bowen dapat diterapkan pada proses
pembentukan batuan sedimen yang bertekstur klastik. Karena batu sedimen yang
bertekstur klastik terbenuk dari hasil sisa pelapukan dari batuan yang telah
ada dan terlitifikasi kembali, sehingga ini berhubungan dengan resistensi
mineral penyusunnya yang pada deret bowen mineral yang memiliki resistensi
tinggi adalah mineral yang terbentk pada suhu yang ckup rendah. Sedangkan pada
batuan metamorf yang berhubungan dengan deret reaksi Bowen adalah pada
pembentukan batuan metamorf yang terbentuk dari batuan dasar batuan beku dan
batuan sedimen. Untuk batuan beku yang mengalami proses metamorfisme misalnya
batu gneiss, yang memiliki kandungan sama dengan batu granite pada batuan beku.
Kemudian batuan metamorf yang terbentuk dari hasil metamorfisme yang berasal
dari batuan dasar batuan sedimen yang memiliki tekstur klastik misalnya
batupasir. Batupasir mengalami metamorfisme yang kemudian membentuk batu
quartzite yang memiliki mineral penyusun sama denggan batupasir atau batu
asalnya.
Isi
Pada tahun 1929 – 1930 Norman L.
Bowen melakukan penelitian dan menemukan bahwa mineral – mineral terbentuk dari magma yang mengkristal karena suhu magma yang
menurun (kristalisasi fraksional). Kecepatan pendinginan dan suhu yang akan
menentukan ciri dan sifat mineral yang akan terbentuk. Dengan kecepatan
pendinginan yang lambat, maka akan terbentuk mineral yang bentuk dan ukuran
kristalnya lebih besar dari pada mineral yang terbentuk dari magma yang
mendingin secara cepat. Dengan penemuan tersebut Norman L. Bowen membuat suatu
deret reaksi pembentukan mineral yang dinamakan Deret Reaksi Bowen. Deret
Reaksi Bowen berisi tentang urut – urutan pembentukan mineral yang terbentuk
dari hasil pendinginan magma dan perbedaan kandungan magma, dengan asumsi dasar
bahwa semua magma berasal dari magma induk yang bersifat basa. Terbentuknya
mineral ini biasanya terjadi pada batuan beku. Hal ini terbentuk pada batuan
beku karena batuan ini terbentuk dari hasil pembekuan magma secara langsung.
Di dalam magma tersebut mengandung
beberapa material, ada yang bersifat
mudah menguap (volatile) misalnya air,
CO2, chlorine, fluorine, iron,
sulphur, dan lain-lain yang menyebabkan magma dapat bergerak, dan ada yang bersifat
non-volatile atau non-gas yang kedua
material tersebut merupakan zat pembentuk mineral yang biasanya
dijumpai dalam batuan beku.
Dari dalam deret Bowen ini ada informasi
yang cukup penting dalam proses terbentuknya mineral. Yang pertama adalah suhu.
Ketika magma suhunya menurun karena perjalanannya ke permukaan bumi, maka
mineral – mineral pada saat itu akan terbentuk. Peristiwa terbentuknya mineral
– mineral tersebut disebut dengan reaksi penghabluran. Yang kedua yaitu sifat
mineral yang terbentuk. Mineral yang terbentuk pertama kali merupakan mineral –
mineral yang bersifat basa (mafic), yang
mengandung tersusun dari unsur – unsur magnesium,
ferrum dan calcium. Misalnya olivine dan pyroxene. Kemudian setelah itu terbentuk mineral – mineral yang
bersifat intermediet, misalnya hornblende
dan biotite. Selanjutnya yang
terbentuk terakhir merupakan mineral – mineral yang bersifat asam (felsic), yang tersusun oleh unsur –
unsur silica dan alumina, misalnya muskovite
dan quartz.
Selanjutnya
dari deret Bowen ini juga dapat memberi informasi bahwa semakin rendah suhu
pembentukannya atau semakin ke bawah dari deret reaksi ini maka mineral yang terbentuk memiliki resistensi
yang semakin tinggi. Semua hal tersebut sebenarnya hanya disebabkan karena
perbedaan suhu pada saat terbentuknya mineral dari magma yang mendingin.
Deret
ini terbagi menjadi 2 proses yaitu deret diskontinyu dan kontinyu. Dalam deret
diskontinyu, mineral terbentuk dari satu mineral yang berubah ke mineral yang
lain dengan melakukan reaksi terhadap sisa larutan magma pada rentang suhu
tertentu. Deret ini dibangun dari mineral ferro
– magnesian sillicates. Diawali
dengan pembentukan mineral olivine
yang merupakan satu – satunya mineral yang stabil pada atau di bawah 1800oC. Apabila olivine dilanjutkan bereaksi dengan
larutan sisa magma maka akan membentuk pyroxene
pada suhu sekitar 1100oC.
Jika suhu menurun lagi sekitar 900oC maka kemudian akan terbentuk amphibole. Deret diskontinyu akan
berakhir jika biotite telah
mengkristal yaitu pada suhu 600oC. Hal ini terjadi karena semua ferrum dan magnesium dalam larutan magma telah habis dipergunakan untuk
membentuk mineral. Bila pendinginan yang terjadi terlalu cepat maka mineral
yang telah ada tidak akan bereaksi seluruhnya dengan sisa magma sehingga akan
terbentuk rim (selubung) yang
tersusun dari mineral yang terbentuk setelahnya, misal olivin
dengan rim pyroxene.
Mineral yang terbetuk pada deret diskontinyu yaitu olivine, pyroxene, amphibole, dan
biotite.
Dalam
deret kontinyu, mineral yang terbentuk pertama kali akan berperan dalam
pembentukan mineral selanjutnya. Deret ini
disusun dari mineral feldspar plagioclase.
Misalnya plagioclase kaya calcium akan terbentuk terlebih dahulu,
baru kemudian plagioclase itu akan
bereaksi dengan sisa larutan magma bersamaan dengan turunnya suhu berlanjut reaksi dengan peningkatan bertahap
dalam pembentukan natrium yang mengandung feldspar
sampai titik kesetimbangan tercapai
pada suhu sekitar 900oC. Saat magma mendingin dan calcium kehabisan ion, feldspar didominasi oleh pembentukan sodium feldspar hingga suhu sekitar
6000C feldspar dengan hampir 100% sodium
terbentuk sehingga terbentuk plagioclase yang kaya sodium.
Demikian seterusnya reaksi ini berlangsung sampai semua calcium
dan sodium habis bereaksi. Karena
mineral awal bereaksi secara terus – menerus maka plagioclase terus ikut bereaksi hingga akhirnya pun habis. Oleh
karena itu plagioclase yang kaya calcium sangat sulit di temukan di alam
bebas. Akan tetapi jika pendinginan terlalu cepat, maka plagioclase yang terbentuk akan banyak mengandung calcium yang dikelilingi plagioclase
kaya sodium. Mineral
yang terbentuk pada deret ini yaitu anortite,
bytownite, labradorite, andesine, oligoklas dan albite.
Jika
kedua deret tersebut telah berakhir dan seluruh ferrum, magnesium, sodium dan calcium telah habis, maka yang tersisa tinggal potassium, alumina dan silica. Semua unsur yang tersisa tersebut
akan bergabung membentuk Othoclase Potassium Feldspar . Dan akan terbentuk muscovite apabila tekanan air cukup
tinggi. Sisanya, larutan magma yang sebagian besar mengandung silica dan oksigen
akan membentuk quartz.
Berdasarkan
penjelasan yang telah dipaparkan di atas, baik proses maupun ciri pembentukan
mineral pada deret reaksi Bowen, kita dapat mengetahui bagaimana suatu mineral
terbentuk dan bersifat apakah mineral
itu. Sehingga setelah mempelajari dan memahami deret tersebut kita dapat
mengaplkasikanya dalam penentuan sifat dan material penyusun suatu batuan.
Misalnya secara jelas kita dapat mengetahui dari sifat fisik batuan yaitu dari
warna batuan.
Dalam
proses terbentuknya mineral penyusun suatu batuan, maka jenis batuan yang
sangat jelas berhubungan dengan proses deret reksi Bowen ini adalah batuan
beku. Batuan ini tersbentuk dari pembekuan magma secara langsung seperti halnya
pada pembentukan mineral yang telah dibahas oleh Norman L. Bowen. Jika diliat
dari warna batuan beku, apabila warna batuan tersebut cerah maka batuan
tersebut banyak mengandung mineral – mineral felsic
dan batuan tersebut tesusun dari mineral yang bersifat asam. Misalnya pada batu
granite dan diorite, batu ini tersusun
dari mineral – mineral asam yaitu quartz,
plagioclase, orthoclase, dan biotite. Sebaliknya, jika suatu batuan
memiliki warna yang gelap maka batuan tersebut tersusun dari mineral – mineral mafic dan jelas bahwa batuan tersebut tersusun
dari mineral yang bersifat basa. Misalnya pada gabbro dan basalt, yang tersusun dari olivine, pyroxene, Ca plagioclase dan hornblende. Akan tetapi jika suatu
batuan memiliki warna abu – abu biasanya tersusun dari mineral yang bersifat
intermedier, misalnya pada diorite dan
andesite.
Deret
reaksi Bowen selain digunakan untuk pendiskripsian batuan beku, deret ini juga
dapat digunakan dalam pendiskripsian batuan sedimen maupun batuan metamorf.
Meskipun dalam pendiskripsian batuan sedimen dan metamorf ini hanya sebagian
saja dan juga agak terlalu sulit.
Untuk
batuan sedimen deret ini dapat digunakan untuk batuan sedimen yang berstekstur
klastik saja, karena batuan sedimen yang bertekstur klastik ini tersusun dari
material – material yang berbentuk butiran yang merupakan hasil pelapukan dari
batuan yang sebelumnya telah terbentuk. Jadi secara rasional kita dapat menarik
kesimpulan bahwa mineral yang menyusun batuan sedimen klastik ini merupakan
mineral – mineral sisa pelapukan yang telah tertransportasi ke daerah cekungan
sedimen yang kemudian mengalami litifikasi membentuk batuan sedimen klastik
ini. Jadi batuan ini tersusun dari mineral yang memiliki resistensi tinggi.
Dapat kita ketahui dari deret reaksi bowen bahwa mineral yang memiliki
resistensi tinggi merupakan mineral – mineral yang terbentuk terakhir kali pada
suhu yang relatif rendah atau dalam deret bowen berada di bagian bawah. Mineral yang seperti ini contohnya
adalah quartz. Contoh batuan sedimen klastik
yaitu batupasir. Batu ini terbentuk dari mineral quartz, yang merupakan mineral yang memiliki resistensi tinggi.
Sehingga mineral ini tidak hancur hingga berukuran lempung ataupun lanau. Yang
kemudian terlitifikasi menjadi batupasir. Deret reaksi bowen ini tidak dapat
berlaku jika digunakan pada batuan sedimen non klastik. Hal ini disebabkan
karena batuan sedimen non klastik ini terbentuk dari mineral – mineral yang
terbentuk secara kimiawi maupun biologis bukan berasal dari magma yang membeku seperti
yang dijelaskan oleh Norman L. Bowen.
Untuk
batuan metamorf deret ini pun juga dapat digunakan dalam pendiskripsian batuan
tersebut. Dari pengertian batuan metamorf terlebih dahulu kita tahu bahwa
batuan tersebut terbentuk dari hasil proses metamorfisme
dari batuan yang telah ada sebelumnya.
Proses metamorfisme sendiri memiliki arti proses perubahan suatu
jenis batuan ke jenis yang lain tanpa melalui fase cair atau berupa magma
karena adanya suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena
proses tekanan dan suhu tersebut berlangsung tidak menerus atau kontinyu
sehingga ketika batuan berfase padat akan berubah ke fase cair proses tekanan
dan suhu menghilang atau berkurang.
Jika
kita hubungkan proses pembentukan batuan metamorf dengan deret reaksi yang
telah di buat oleh bapak Bowen, maka aka nada hubungannya. Yang pertama yaitu
batuan metamorf yang terbentuk dari ubahan batuan beku. Padahal kita tahu
batuan beku sangat berhubungan dengan deret reaksi Bowen ini. Disinilah hubungannya. Secara jelas dan
nyata kita dapat melihat sebuah sampel batuan metamorf misalnya gneiss. Batu ini merupakan ubahan dari
batuan beku yaitu granite, batu ini
memiliki struktur foliasi gneissic. Batu ini bisa memiliki struktur foliasi karena
adanya tekanan yang tinggi pada saat proses metamorfisme
pembentukannya. Jadi kita dapat dengan
mudah mendiskripsi batuan ini. Tinggal kita analogkan mineral penyusun batu granite dengan gneiss.
Maka mineral penyusunnya pun dapat kita ketahui.
Selanjutnya
jika kita hubungkan batuan metamorf dengan batuan sedimen yang bertekstur
klastik. Di atas telah dijelaskan bagaimana terbentuknya batuan sedimen klastik
dan bagaimana hubungan antara batuan sedimen klastik tersebut dengan penggunaan
deret reaksi Bowen. Untuk lebih jelasnya dapat kita ketahui pada batuan
metamorf yang bertekstur non foliasi hornfelsic. Contohnya yaitu quartzite. Batu ini terbentuk dari hasil
ubahan batusedimen klastik yaitu batupasir yang telah mengalami metamorfisme.
Kita telah mengethui bahwa mineral penyusun batupasir merupakan mineral quartz, sehingga secara jelas kita dapat
mengetahui mineral yang menyusun batu metamorf tersebut dengan cara
menganalogkannya. Maka batu quartzite merupakan
batu yang mengandung mineral quartz.
Daftar Pustaka
Dosen dan Staff Assisten Laboratorium
Bahan Galian. 2007. Buku Panduan
Praktikum Kristalografi dan Mineralogi. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Geologi Laboratorium Bahan Galian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar