Selasa, 13 November 2012
Rahasia Sumur Zam-zam
ini nih link dari om Rovicky yang sangat menarik, baca dlu baru kommen :D
http://rovicky.wordpress.com/2007/06/26/rahasia-sumur-zamzam-1/
http://rovicky.wordpress.com/2007/06/26/rahasia-sumur-zamzam-1/
geologi regional kulon progo
GEOLOGI
REGIONAL
II.1. Geomorfologi
Regional
Menurut
penelitian Van Bemmelen (1948),
secara fisiografis Jawa Tengah dibagi menjadi 3 zona, yaitu :
1. Zona
Jawa Tengah bagian utara yang merupakan Zona
Lipatan
2. Zona
Jawa Tengah bagian tengah yang merupakan Zona
Depresi
3. Zona
Jawa Tengah bagian selatan yang merupakan Zona
Plato
Berdasarkan
letaknya, Kulon Progo merupakan bagian dari zona Jawa
Tengah bagian selatan maka daerah Kulon Progo merupakan salah satu plato yang
sangat luas yang terkenal dengan nama Plato
Jonggrangan (Van
Bemellen, 1948). Daerah ini merupakan daerah uplift yang memebentuk dome
yang luas. Dome tersebut relatif
berbentuk persegi panjang dengan panjang sekitar 32 km yang melintang dari arah
utara - selatan, sedangkan
lebarnya sekitar 20 km pada arah barat -
timur. Oleh Van Bemellen Dome tersebut diberi nama Oblong Dome.
Berdasarkan relief dan genesanya,
wilayah kabupaten Kulon Progo dibagi menjadi beberapa satuan geomorfologi
antara lain, yaitu :
A.
Satuan Pegunungan Kulon
Progo
Satuan pegunungan Kulon
Progo mempunyai ketinggian berkisar antara 100 – 1200 meter diatas permukaan
laut dengan kemiringan lereng sebesar 150 – 160. Satuan
Pegunungan Kulon Progo penyebarannya memanjang dari utara ke selatan dan menempati bagian
barat wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, meliputi kecamatan Kokap, Girimulyo
dan Samigaluh. Daerah pegunungan Kulon Progo ini sebagian besar digunakan sebagai kebun
campuran, permukiman, sawah dan tegalan.
B.
Satuan Perbukitan
Sentolo
Satuan perbukitan
Sentolo ini mempunyai penyebaran yang sempit
dan terpotong oleh kali Progo yang memisahkan wilayah
Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten
Bantul. Ketinggiannya berkisar antara 50 – 150 meter diatas permukaan air laut
dengan besar kelerengan rata – rata 15 0. Di wilayah ini, satuan
perbukitan Sentolo meliputi daerah Kecamatan Pengasih dan Sentolo.
C.
Satuan Teras Progo
Satuan teras Progo
terletak disebelah utara satuan perbukitan Sentolo dan disebelah timur satuan
Pegunungan Kulon Progo, meliputi kecamatan Nanggulan dan Kali Bawang, terutama
di wilayah tepi Kulon Progo
D.
Satuan Dataran Alluvial
Satuan dataran alluvial
penyebarannya memanjang dari barat ke timur, daerahnya meliputi kecamatan
Temon, Wates, Panjatan, Galur dan sebagian Lendah. Daerahnya relatif landai
sehingga sebagian besar diperuntukkan untuk pemukiman dan lahan persawahan.
E.
Satuan Dataran Pantai
a.
Subsatuan Gumuk Pasir
Subsatuan gumuk pasir ini memiliki penyebaran di
sepanjang pantai selatan Yogyakarta, yaitu pantai Glagah dan Congot. Sungai yang bermuara di
pantai selatan ini adalah kali
Serang dan kali Progo yang membawa material berukuran
besar dari hulu. Akibat
dari proses pengangkutan dan pengikisan, batuan tersebut menjadi batuan
berukuran pasir. Akibat dari gelombang laut dan aktivitas angin, material
tersebut diendapkan di dataran pantai dan
membentuk gumuk – gumuk pasir.
b.
Subsatuan Dataran
Alluvial Pantai
Subsatuan dataran
alluvial pantai terletak di sebelah utara subsatuan gumuk pasir yang tersusun
oleh material berukuran pasir halus yang berasal dari subsatuan gumuk pasir
oleh kegiatan angin. Pada subsatuan ini tidak dijumpai gumuk - gumuk pasir sehingga digunakan untuk persawahan
dan pemukiman penduduk.
II.2. Stratigrafi
Regional
Menurut Sujanto dan
Ruskamil (1975) daerah Kulon Progo merupakan tinggian yang dibatasi oleh
tinggian dan rendahan Kebumen di bagian barat dan Yogyakarta di bagian timur,
yang didasarkan pada pembagian tektofisiografi
wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Yang mencirikan tinggian Kulon Progo
yaitu banyaknya gunung api purba yang timbul dan tumbuh di atas batuan paleogen, dan ditutupi oleh batuan
karbonat dan napal yang berumur neogen.
Dalam stratigrafi
regional mengenai daerah fieldtrip,
dibahas umur batuan berdasarkan batuan penyusunnya, untuk itu perlu diketahui
sistem umur batuan penyusun tersebut. Sistem tersebut antara lain :
1. Sistem
eosen
Batuan yang menyusun
sistem ini adalah batu pasir, lempung, napal, napal pasiran, batu gamping,
serta banyak kandungan fosil foraminifera maupun moluska. Sistem eosen ini disebut “Nanggulan group”. Tipe dari sistem ini misalnya di desa Kalisongo,
Nanggulan Kulon Progo, yang secara keseluruhannya tebalnya mencapai 300 m. Tipe
ini dibagi lagi menjadi empat yaitu “Yogyakarta
beds”, “Discoclyina”, “Axiena Beds” dan Napal Globirena, yang masing -
masing sistem ini tersusun oleh batu pasir, napal, napal pasiran, lignit dan
lempung. Di sebelah timur ”Nanggulan
group” ini berkembang facies gamping yang kemudian dikenal sebagai gamping
eosen yang mengandung fosil foraminifera, colenterata, dan moluska
2. Sistem
oligosen – miosen
Sistem oligosen – miosen terjadi ketika
kegiatan vulkanisme yang memuncak dari Gunung Menoreh, Gunung Gadjah, dan
Gunung Ijo yang berupa letusan dan dikeluarkannya material – material
piroklastik dari kecil sampai balok yang berdiameter lebih dari 2 meter.
Kemudian material ini disebut formasi andesit tua, karena material vulkanik
tersebut bersifat andesitik, dan terbentuk sebagai lava andesit dan tuff
andesit. Sedang pada sistem eosen,
diendapkan pada lingkungan laut dekat pantai yang kemudian mengalami
pengangkatan dan perlipatan yang dilanjutkan dengan penyusutan air laut. Bila
dari hal tersebut, maka sistem oligosen –
miosen dengan formasi andesit tuanya tidak selaras dengan sistem eosen yang ada dibawahnya. Diperkirakan
ketebalan istem ini 600 m. Formasi andesit tua ini membentuk daerah perbukitan
dengan puncak – puncak miring.
3. Sistem
miosen
Setelah pengendapan
formasi andesit tua daerah ini mengalami penggenangan air laut, sehingga
formasi ini ditutupi oleh formasi yang lebih muda secara tidak selaras. Fase
pengendapan ini berkembang dengan batuan penyusunnya terdiri dari batu gamping
reef, napal, tuff breksi, batu pasir, batu gamping globirena dan lignit yang
kemudian disebut formasi jonggrangan, selain itu juga berkembang formasi
sentolo yang formasinya terdiri dari batu gamping, napal dan batu gamping
konglomeratan. Formasi Sentolo sering dijumpai kedudukannya diatas formasi
Jonggrangan. Formasi Jonggrangan dan formasi Sentolo sama – sama banyak mengandung
fosil foraminifera yang beumur burdigalian – miosen. Formasi – formasi tersebut
memilik ipersebaran yang luas dan pada umumnya membentuk daerah perbukitan
dengan puncak yang relative bulat. Diakhir kala pleistosen daerah ini mengalami
pengangkatan dan pada kuarter terbentuk endapan fluviatil dan vulkanik dimana
pembentukan tersebut berlangsung terus – menerus hingga sekarang yang letaknya
tidak selaras diatas formasi yang terbentuk sebelumnya.
Berdasarkan
system umur yang ditentukan oleh penyusun batuan stratigrafi regional menurut
Wartono Rahardjo dkk(1977), Wirahadikusumah (1989), dan Mac Donald dan partners
(1984), daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 formasi, yaitu :
a. Formasi
Nanggulan
Formasi Nanggulan
mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran
dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan
fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian
tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah
sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo
di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yait
1. Axinea
Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan
lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan
lignit yang semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil
pelecypoda.
2. Yogyakarta
beds
Formasi yang berada di atas axiena beds
ini diendapkan secara selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu
lempung ynag mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir.
Yogyakarta beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
3. Discocyclina
beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan
secara selaras diatas Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri
dari batu napal yang terinteklasi dengan
batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan batuan
arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.
b. Formasi
Andesit Tua
Formasi ini mempunyai
batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff, tuff, breksi lapisi ,
Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang tersingkap di daerah
kulon progo. Formasi ini diendapkan
secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan formasi ini formasi ini
berumur oligosen – miosen.
c. Formasi
Jonggrangan
Formasi ini mempunyai
batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi, batu lempung dengan sisipan
lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya terdiri dari batu gamping
kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan
formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit
tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat
pada formasi ini ialah poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
d. Formasi
Sentolo
Formasi Sentolo ini
mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan dan batu gamping, dan pada
bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m.
Letak formasi initak selaras dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini
berumur sekitar miosen bawah sampai pleistosen.
Sedang menurut Van
Bemellen Pegunungan Kulon Progo dikelompokkan menjadi beberapa formasi
berdasarkan batuan penyusunnya. Formasi tersebut dimulai dari yang paling tua
yaitu sebagai berikut :
a. Formasi
Nanggulan
Formasi Nanggulan
mempunyai penyusun yang terdiri dari batu pasir, sisipan lignit, napal pasiran
dan batu lempungan dengan konkresi limonit, batu gamping dan tuff, kaya akan
fosil foraminifera dan moluska dengan ketebalan 300 m. berdasarkan penelitian
tentang umur batuannya didapat umur formasi nanggulan sekitar eosen tengah
sampai oligosen atas. Formasi ini tersingkap di daerah Kali Puru dan Kali Sogo
di bagian timur Kali Progo. Formasin Nanggulan dibagi menjadi 3, yaitu
a. Axinea
Beds
Formasi paling bawah dengan ketebalan
lapisan sekitar 40 m, terdiri dari abut pasir, dan batu lempung dengan sisipan
lignit yang semuanya berfasies litoral, axiena bed ini memiliki banyak fosil
pelecypoda.
b. Yogyakarta
beds
Formasi yang berada di atas axiena beds
ini diendapkan secara selaras denagn ketebalan sekitar 60 m. terdiri dari batu
lempung ynag mengkonkresi nodule, napal, batu lempung, dan batu pasir.
Yogyakarta beds mengandung banyak fosil poraminifera besar dan gastropoda.
c. Discocyclina
beds
Formasi paling atas ini juga diendapkan
secara selaras diatas Yogyakarta beds denagn ketebalan sekitar 200m. Terdiri
dari batu napal yang terinteklasi dengan
batu gamping dan tuff vulakanik, kemudian terinterklasi lagi dnegan batuan
arkose. Fosil yang terdapat pada discocyclina beds adalah discocyclina.
b. Formasi
Andesit Tua
Formasi ini mempunyai
batuan penyusun berupa breksi andesit, lapili tuff, tuff, breksi lapisi ,
Aglomerat, dan aliran lava serta batu pasir vulkanik yang tersingkap di daerah
kulon progo. Formasi ini diendapkan
secara tidak selaras dengan formasi nanggulan dengan ketebalan 660 m.
Diperkirakan formasi ini formasi ini
berumur oligosen – miosen.
c. Formasi
Jonggrangan
Formasi ini mempunyai
batuan penyusun yang berupa tufa, napal, breksi, batu lempung dengan sisipan
lignit didalamnya, sedangkan pada bagian atasnya terdiri dari batu gamping
kelabu bioherm diselingi dengan napal dan batu gamping berlapis. Ketebalan
formasi ini 2540 meter. Letak formasi ini tidak selaras dengan formasi andesit
tua. Formasi jonggrangan ini diperkirakan berumur miosen. Fosil yang terdapat
pada formasi ini ialah poraminifera, pelecypoda dan gastropoda.
d. Formasi
Sentolo
Formasi Sentolo ini
mempunyai batuan penyusun berupa batu pasir napalan dan batu gamping, dan pada
bagian bawahnya terdiri dari napal tuffan. Ketebalan formasi ini sekitar 950 m.
Letak formasi initak selaras dengan formasi jonggrangan. Formasi Sentolo ini
berumur sekitar miosen bawah sampai pleistosen
e. Forasi
Alluvial dan gumuk pasir
Formasi ini iendapan
secara tidak selaras terhadap lapisan batuan yang umurnya lebih tua. Litologi
formasi ini adalah batu apsr vulkanik merapi yang juga disebut formasi
Yogyakarta. Endapan gumuk pasir terdiri dari pasir – pasir baik yang halus
maupun yang kasar, sedangkan endapan alluvialnya terdiri dari batuan sediment
yang berukuran pasir, kerikir, lanau dan lempung secara berselang – seling.
Dari
seluruh daerah Kulon Progo, pegunungan Kulon Progo sendiri termasuk dalam
formasi Andesit tua. Formasi ini mempunyai litologi yang penyusunnya berupa
breksi andesit, aglomerat, lapili, tuff, dan sisipan aliran lava andesit. Dari
penelitian yang dilakukan Purmaningsih (1974) didapat beberapa fosil plankton
seperti Globogerina Caperoensis bolii, Globigeria Yeguaensis” weinzeierl dan
applin dan Globigerina Bulloides blow. Fosil tersebut menunjukka batuan berumur
Oligosen atas. Karena berdasarkan hasil penelitian menunjukkan pada bagian
terbawah gunung berumur eosin bawah, maka oleh Van bemellen andesit tua
diperkirakan berumur oligosen atas sampai miosen bawah dengan ketebalan 660 m.
II.3. Struktur Geologi
Regional
Struktur ini dapat
dikenali dengan adanya kenampakan pegunungan yang dikelilingi oleh dataran
alluvial. Secara umum struktur geologi yang bekerja adalah sebagai berikut :
1. Struktur
Dome
Menurut Van Bemellen
(1948), pegunungan Kulon Progo secara keseluruhan merupakan kubah lonjong yang
mempunyai diameter 32 km mengarah NE – SW dan 20 km mengarah SE – NW. Puncak
kubah lonjong ini berupa satu dataran yang luas disebut jonggrangan plateu.
Kubah ini memanjang dari utara ke selatan dan terpotong dibagian utaranya oleh
sesar yang berarah tenggara – barat laut dan tertimbun oleh dataran magelang,
sehingga sering disebut oblong dome. Pemotongan ini menandai karakter tektonik
dari zona selatan jawa menuju zona tengah jawa. Bentuk kubah tersebut adalah
akibat selama pleistosen, di daerah mempunyai puncak yang relative datar dan sayap – sayap yang
miring dan terjal. Dalam kompleks
pegunungan Kulon Progo khususnya pada lower burdigalian terjadai penurunan
cekungan sampai di bawah permukaan laut yang menyebabkan terbentuknya sinklin
pada kaki selatan pegunungan Menoreh dan sesar dengan arah timur – barat yang memisahkan gunung Menoreh denagn vulkan gunung Gadjah.
Pada akhir miosen daerah Kulon Progo merupakan dataran rendah dan pada puncak
Menoreh membentang pegunungan sisa dengan ketinggian sekitar 400 m. secara
keseluruhan kompleks pegunungan Kulon Progo terkubahkan selama pleistosen yang
menyebabkan terbentuknya sesar radial yang memotong breksi gunung ijo dan
Formasi Sentolo, serta sesar yang memotong batu gamping Jonggrangan. Pada
bagian tenggara kubah terbentuk graben rendah.
2. Unconformity
Di daerah Kulon Progo
terdapat kenampakan ketidakselarasan (disconformity)
antar formasi penyusun Kulon Progo. Kenampakan telah dijelaskan dalam
stratigrafi regional berupa formasi andesit tua yang diendapkan tidak selaras
di atas formasi Nanggulan, formasi Jonggrangan diendapkan secara tidak selaras
diatas formasi Andesit Tua, dan formasi Sentolo yang diendapkan secara tidak
selaras diatas formasi Jonggrangan.
sumber
Van
Bemmelen, R.W..1970. The Geology of Indonesia, volume 1. A.Haque. Netherlands.
sistem kristal pada mineral
SISTEM KRISTAL ISOMETRIK
Sistem
Kristal isometrik memiliki 3 sumbu simetri dan ketiganya memiliki panjang yang
sama. Sudut antara ketiga sumbu simetri tersebut adalah tegak lurus, atau
berukuran 90o.
Mineral yang
mencirikan sistem kristal isometric adalah
Intan pirit
sphalerit
SISTEM KRISTAL TETRAGONAL
Sistem
Kristal tetragonal memiliki 3 sumbu simetri dan 3 sumbu simetri tersebut saling
memotong tegak lurus. Namun panjang ketiga sumbu simetri tersebut ada 1 yang
lebih pendek / panjang.
Mineral
yang mencirikan sistem kristal tetragonal adalah
Kalkopirit Rutil Zircon
SISTEM KRISTAL ORTHORHOMBIK
Sistem Kristal
orthorhombik memiliki 3 sumbu simetri yang saling tegak lurus namun panjang
yang berbada, sehingga pada mineral yang kristalnya berbentuk orthorhombik
bentuknya ada yang gemuk atau pipih.
Mineral
yang mencirikan sistem kristal orthorhombik adalah
Anhidrit Barit Aragonit
SISTEM KRISTAL MONOKLIN
Sistem
Kristal monoklin memiliki 3 sumbu simetri yang berbeda panjangnya serta berbeda
sudut perpotongannya juga. Dua sumbu simetrinya memotong tegak lurus, tetapi
yang satunya memotong dengan sudut yang miring.
Mineral
yang mencirikan sistem kristal monoklin adalah
Gipsum Hornblenda Talc
SISTEM KRISTAL TRIKLIN
Sistem
Kristal triklin memiliki 3 sumbu simetri yang tidak sama panjang, sumbu
simetrinya pun tidak berpotongan dengan tegak lurus. Ketiga sumbu simetrinya
berpotongan tidak beraturan.
Mineral
yang mencirikan sistem kristal triklin adalah
Oligoklas Rhodonit Albit
SISTEM KRISTAL HEKSAGONAL
Sistem
Kristal heksagonal memiliki 4 sumbu simetri dengan 3 sumbu simetri terletak
pada 1 bidang, yaitu horizontal. Ketiga sumbu simetri tersebut membentuk sudut
60o antar sumbu horizontal dan sumbu keempat merupakan sumbu
vertical yang memotong tegak lurus pada ketiga sumbu simetri horizontal. Sumbu
keempat tersebut biasanya lebih panjang dari keteiga sumbu horizontal.
Mineral
yang mencirikan sistem kristal heksagonal adalah
Kuarts Kalsit Nephelin
SISTEM KRISTAL TRIGONAL
Sistem
Kristal trigonal memiliki sumbu simetri dan sudut perpotongan yang sama dengan
sistem kristal heksagonal. Namun sebenarnya pada system Kristal trigonal
terdapat dua system yang digabungkan menjadi satu sistem. Perbedaan dengan
Kristal heksagonal terletak pada simetrinya. Pada sistem kristal trigonal puncak
dan dasar prisma berbentuk limas segitiga.
Mineral
yang mencirikan sistem kristal trigonal adalah
Hinsdalit Pyrosmalit Korondum
maaf gambar download sendiri yaa, itu linknya :)
DAFTAR PUSTAKA
·
upload.wikimedia.com
·
Soekardi, 2007, Materi
Ringkas Krist – Min, FT – UGM Jurusan Teknik Geologi, Yogyakarta
·
Soetoto, Ir.,
2001, Geologi, Laboratorium Geologi Dinamik, FT – UGM Jurusan Teknik
Geologi, Yogyakarta
Langganan:
Postingan (Atom)